oleh : Radhie Alfha
Tentang ArsitekturDiawali dengan hadirnya kebutuhan manusia yang harus dipenuhi,  arsitektur hadir    mendampingi perkembangan manusia dulu hingga sekarang. Dimulai dari  masa dimana    arsitektur hadir hanya sebagai sebuah usaha pemenuhan kebutuhan fisik  hingga ke    masa dimana arsitektur dapat hadir dalam berbagai hal. Termasuk  didalamnya adalah    fungsi yang hanya sekadar untuk memperindah saja. Di tiap-tiap masa  tersebut,    arsitektur hadir dengan karakteristik dan nilai yang berbeda.  Nilai-nilai dan    karakteristik tersebut selalu berkembang seiring dengan majunya pola  pikir manusia.
Arsitektur pada awalnya merupakan sebuah bentuk solusi yang  bersifat lokal    terhadap suatu masalah, terutama kebutuhan akan perlindungan dan  naungan dari    alam. Lokal disini berarti hanya terikat pada masalah tersebut saja.  Arsitektur    semacam ini merupakan sebuah hasil usaha trial and error yang  dilakukan oleh manusia    primitif dalam menghadapi permasalahan pemenuhan kebutuhan dasarnya.  Usaha yang    dilakukan manusia ini merupakan sebuah bentuk interaksi langsung dan  mendetail    antara manusia dengan masalah yang dihadapainya.Penyelesaian yang  lahir dari usaha    trial and error membuat manusia menjadi mengenali permasalahan  tersebut secara    mendalam dan mendetail. Hal ini dikarenakan solusi semacam ini  bersifat mendetail    dari tiap aspek permasalahan tersebut, bukan secara makro, sehingga  satu permasalahan    dapat memiliki banyak solusi yang kesemuanya harus diterapkan  bersama-sama. Ketika    mencapai suatu masa dimana permasalahan tersebut sudah tidak dapat  lagi diselesaikan    dengan rangkaian solusi tersebut, maka manusia akan kembali melakukan  arsitektur    trial and error untuk menyelesaikannya. Proses ini akan terus-menerus  berulang.
Arsitektur vernakular yang sifatnya sangat beragam dan unik di  setiap kelompok    komunitas juga merupakan sebuah bentuk arsitektur yang lahir dari  interaksi manusia    dengan lingkungan hidupnya dan permasalahan yang dihadapinya. Berbagai  macam prinsip    yang terdapat dalam arsitektur vernakular suatu daerah terbentuk dari  persepsi    manusia akan kepercayaan, budaya, cara hidup, gejala alam yang mereka  hadapi.    Sekali lagi, arsitektur semacam ini menjadikan manusia memiliki  pemahaman yang    mendasar dan mendetail terhadap suatu permasalahan.
Masa berikutnya, saat terjadi pergerakan seni dan segala  nilai-nilai keindahan    dan kesempurnaan, karakteristik arsitektur kembali berubah. Manusia  pada masa    ini selalu memimpikan akan datangnya kesempurnaan di masa yang akan  datang. Pengharapan    akan kondisi yang paling ideal untuk terjadi dalam segala aspek  kehidupan sangat    besar. Segala macam utopia mendominasi pemikiran pada masa ini. Segala  imaji akan    kesempurnaan yang merupakan kondisi paling ideal dari realita yang  ada. Arsitektur,    sebagai salah satu komponen yang dapat mewujudkan hal itu, menjadi  penuh dengan    segala macam utopia dari segi estetika. Nilai keindahan bentuk  dikedepankan dan    diutamakan dalam perwujudannya. Kondisi ini menjauhkan kesadaran akan  pentingnya    fungsi utama dari hasil karya arsitektur tersebut. Metode  menyelesaikan suatu    permasalahan dalam berarsitektur selalu dikaitkan terhadap  menghasilkan suatu    keindahan bentuk yang pada akhirnya tidak melahirkan suatu keunikan  akibat faktor    utopia yang mendominasi.
Kemajuan pemikiran manusia dalam menghadapi sesuatu serta  perkembangan teknologi    turut merubah arsitektur baik secara prinsipil maupun superficial.  Perang Dunia    II, penemuan mesin uap, kemajuan industri, prinsip mass production,  dan sebagainya    turut menggeser perlakuan manusia terhadap arsitektur. Arsitektur pada  masa itu    menjadi sebuah alat pemenuhan kebutuhan masal demi pemulihan akibat  dampak Perang    Dunia II. Dengan prinsip mass production, karakteristik arsitektur  menjadi homogen    dan seragam dan mengabaikan nilai keheterogenitasan manusia.  Permasalahan yang    ditemui diselesaikan dengan solusi yang serupa sekalipun permasalahan  tersebut    adalah dua hal yang berbeda dan membutuhkan penanganan yang berbeda.
Kini berbagai macam karakter dan keheterogenitasan kembali muncul.  Tiap individu    dihargai dan dinilai sebagai individu. Berbagai macam bentuk  arsitektur yang dianggap    terlalu arogan pada masa sebelumnya, dengan karakter yang sangat  homogen, dianalisa.    Berbagai macam kebebasan dan superioritas sebuah individu dapat  diekspresikan    dengan maksimal. Keinginan untuk menjadi bintang, unik, dan monumental  banyak    dimiliki oleh individu. Pengulangan maupun pencampuran karakter  arsitektur pada    masa lalu untuk diterapkan pada hasil karya arsitektur seorang indvidu  dapat diterima    dengan baik. Tidak ada pengkategorian global yang benar-benar jelas  dan nyata    mengenai arsitektur yang berlaku sekarang. Satu hal yang benar-benar  merupakan    kesamaan karakteristik secara global atas arsitektur adalah adanya  penghargaan    atas kebebasan.
Tentang Keseharian
he Everyday merupakan sebuah kondisi kenyataan yang terdapat  pada kehidupan.    Sebagai sebuah konsep, Henry Lefebvre mengidentifikasikan The  Everyday sebagai    sesuatu yang tersisa ketika semua kegiatan tertentu telah  dikesampingkan (Wigglesworth    & Till, 1998). The Everyday menolak adanya pengkategorian  yang jelas.    The Everyday melihat semua aspek dan detail dari suatu objek  tanpa mengesampingkan elemen minoritasnya.    Sebagai sebuah konsep, ia juga menentang kedangkalan pikiran akan  pandangan mengenai    apa sebenarnya realitas yang ada (Harris, 1997), seperti melihat dan  menilai suatu    kota hanya melalui kondisi yang ada dan terjadi pada pusat kota saja. The  Everyday menekankan kepada kerealitasan dan kesederhanaan dari  keseharian yang sesungguhnya.    Oleh karena itu The Everyday sering memunculkan  pertentangan-pertentangan atas    apa yang ada dalam persepsi orang dengan apa yang terdapat pada  realitas.   
The Everyday berkaitan dengan sesuatu apa yang sudah ada di  tempatnya dan juga    terhadap yang akrab, bukan apa yang seharusnya ada di tempatnya  tersebut (utopia)    (Wigglesworth & Till, 1998). Dalam skala kota, ini dapat di  artikan sebagai area    pinggiran kota, pemukiman padat kumuh, ataupun jalan-jalan tikus yang  tidak beraturan.    Kesemua hal tersebut bukan suatu hal yang cocok dengan kondisi utopia  tersebut,    namun pada kenyataannya, itulah hal yang ada dan ”akrab” dalam  keseharian. 
Nilai-nilai rasionalisasi, penyeragaman, escapism,  kepahlawanan, dan konsumerisme    merupakan kebalikan dari aspek yang ada pada The Everyday.  Tindakan rasionalisasi,    -seperti penjatuhan vonis buruk pada pemukiman kumuh. ”...sebuah kota  seharusnya    tidak memilik kawasan kumuh...’-, adalah sebuah tindakan yang banyak  mengabaikan    poin penting dan potensial dari pemukiman tersebut. Nilai penyeragaman  juga merupakan    sebuah nilai yang menolak kenyataan bahwa manusia itu beragam dan  heterogen dan    menghilangkan keunikan sesuatu dari lainnya. Terlebih lagi nilai escapism  yang menjadikan semua yang semu dan bersifat utopia untuk menampikkan  realitas yang    ada.
Keseharian dan Arsitektur
“It is for this reason we did not call the issue Architecture of  the The Everyday    –because that would subsume that architecture can represent the The  Everyday in    a reified manner” (Wigglesworth and Till, 1998: 9). Sarah  Wigglesworth dan Jeremy    Till menganggap bahwa arsitektur tidak dapat menginterpretasikan the  everyday dengan mudah dalam cara tertentu. Mereka mengkhawatirkan  sebuah tindakan pengejawantahan   the everyday ke dalam hasil karya arsitektur menjadi sebuah  objek yang terfokus    pada estetika. Berbeda dengan Deborah Berke, yang menganggap bahwa the  everyday dapat diejawantahkan ke dalam suatu hasil karya fisik,  sekalipun   architecture of the    everyday tidak dapat didefinisikan secara mutlak. “We may call  the result an Architecture    of The Everyday, though an architecture of the everyday resist strict  definition;    any rigorous attempt at a concise delineation will inevitably lead to  contradictous”    (Berke, 1997:222)
Beberapa poin yang cukup terkait dengan architecture of the  everyday antara    lain;
“An architecture of the everyday may be banal or common  “(Berke, 1997:223). Di sini Berke memberikan poin yang menyatakan  karakter   the everyday yang merupakan    bentuk realitas yang ada dalam keseharian, maka arsitektur ini tidak  mencari keunikan    dengan mencoba menjadi luar biasa, yang mana seringkali berakhir  menjadi tiruan    daripada hasil yang luar biasa sesungguhnya. Kemudian hasil arsitektur  tersebut    yang mungkin menjadi biasa tidak mendikte orang untuk berpikir apa,  melainkan    memberikan kesempatan untuk orang menghasilkan pemahaman mereka  sendiri.
”An architecture of the everyday may be crude” (Berke,  1997:223). Dalam sesuatu    yang masih mentah atau tidak diperhalus terdapat keaslian dan  kesegaran. Hasil    karya arsitektur yang seperti ini jauh lebih mencerminkan keberagaman  karakter    yang ada.
”An architecture of the everyday acknowledges domestic life”  (Berke, 1997:224).    Sebagai bagian dari realita yang sangat akrab namun seringkali  terabaikan, kehidupan    domestic atau kehidupan dalam suatu rumah tangga merupakan aspek yang  termasuk    dalam perhatian the everyday. Kehidupan domestik merupakan sebuah  bentuk elemen    yang paling akrab dengan keseharian.
Sebahagian besar arsitek terkecoh dengan kondisi yang ada. Banyak  arsitek yang    tidak mau atau berhasil mengidentifikasikan the everyday life.  Kebanyakan hanya    mampu melihat lapisan teratas atau imaji utopia yang dibentuk oleh  sekelompok    orang. Selain itu, sekarang kita hidup pada budaya dimana pahlawan  digantikan    dengan selebritis, ketenaran selama lima belas menit dibayar dengan  kerja keras    seumur hidup. Di era seperti ini banyak arsitek yang menghasilkan  karya arsitektur    dengan memaksakan menghadirkan karakter sang arsitek ke dalamnya,  sekalipun hal    tersebut bertentangan dengan kondisi realita. Semua berlomba-lomba  untuk menghasilkan    karya arsitektur yang monumental dan unik sekaligus show off, meskipun  sebenarnya    hasil arsitektur tersebut tidak memerlukan kondisi seperti itu.
Arsitektur vernakular yang memiliki karakteristik hasil daripada  usaha trial    and error manusia dalam menyelesaikan suatu masalah merupakan satu  bentuk   architecture    of the everyday. Tindakan trial and error manusia awam  merupakan satu bentuk usaha    menyelesaikan permasalahan dengan mendetail dan tanpa mencoba untuk  menjadikannya    sebagai objek aestetik. Arsitek kebanyakan melihat suatu permasalahan  dari permukaan    dan secara umum tanpa memperhatikan apa realita sesungguhnya yang  terjadi. Gaya,    pola pikir, dan imaji tentang utopia menghalangi pandangan arsitek  kebanyakan    sehingga hasil karya yang keluar hanyalah berupa objek estetika yang  tidak berarti    banyak.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, the everyday terkait  dengan kehidupan    domestik karena tingkat keakraban yang dimilikinya. Ruang domestik  merupakan sebuah    ruang dimana pengalaman hidup berlangsung. Segala realita di dalam  kehidupan domestik    merupakan sebahagian bentuk the everyday. Organisasi ruang  domestik menentukan    ritual yang terjadi di dalamnya.
Sekarang ini, di Jakarta terdapat pembangunan ruang domestik dalam  jumlah yang    relatif banyak. Baik ruang domestik yang terletak di daerah pusat kota  maupun    di daerah marginal. Tidak sedikit dari pembangunan ruang domestik  tersebut yang    menggunakan jasa seorang arsitek. Arsitek diminta untuk memanipulasi  ruang-ruang    domestik tersebut, agar segala macam bentuk rutinitas dan ritual dapat  dijalankan    sesuai dengan kebutuhan. Bagi arsitek yang memahami the everyday  sebagai sebuah    konsep dapat menggunakannya untuk menjadikan ruang domestik tersebut  berhasil    menjadi sebuah karya architecture of the everyday. Pemahaman  tersebut merupakan    sebuah bentuk hak bagi para arsitek untuk memanipulasi dan merubah  pola hidup    orang lain untuk menjadi lebih baik. Tetapi masih tidak sedikit pula  para arsitek    yang masih terkecoh oleh prinsip gaya berarsitektur yang ada. Kondisi  seperti    ini merupakan sebuah kemunduran yang dapat menjadikan arsitektur  kembali mundur    ke masa dimana kehomogenitasan dijunjung tinggi.
Daftar Pustaka
Berke, D. (1997). Thoughts on The Everyday. Dalam Steven Harris dan  Deborah Berke (Ed.),   Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural  Press.
Harris, S. (1997). Everyday Architecture. Dalam Steven Harris dan  Deborah Berke (Ed.),    Architecture of The Everyday. New York: Princeton Architectural  Press.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.
Wigglesworth, S. & Till, J. (1998). The Everyday and Architecture. Architectural Design.


 


0 komentar:
Posting Komentar